(Translated by Google) When we mention the name Bung Karno, our minds immediately turn to the charismatic figure of the Proclaimer, a masterful orator, and the father of the nation who instilled a spirit of nationalism. In Blitar, a museum stands to commemorate and reconnect us with his life journey. The Bung Karno Museum is not just a building, but a space for encountering the history, ideology, and values that Soekarno bequeathed to the Indonesian people.
The construction of this museum is inseparable from various backgrounds: ideological, historical, and empirical. Designed by architects Pribadi Widodo and Baskoro Tedjo from Bandung Institute of Technology (ITB), the museum was finally inaugurated on July 3, 2004, by President Megawati Soekarnoputri. Since then, the Bung Karno Museum has become an important historical destination, where the public can learn firsthand about the struggles of the Proclaimer.
Upon entering the museum grounds, visitors are greeted by a statue of Bung Karno by Gregorius Sidharta, an artist from Yogyakarta. The statue depicts Bung Karno seated with a book, as if reminding us of his constant thirst for knowledge. This statue stands right in the center of the lobby, separating the museum and library.
Inside the library, visitors can find a diverse collection of books chronicling the life and struggles of Bung Karno. Furthermore, a variety of interdisciplinary books are available for reference. Interestingly, there's also the 'iSoekarno' service, a digital application featuring hundreds of photos, several videos, and even digital books about Bung Karno that can be accessed via mobile devices.
The journey continues into the museum. Here, history speaks through Bung Karno's personal belongings: the jacket he wore while preparing for independence, the suitcase that accompanied him in and out of prison, his peci (traditional Javanese skullcap), his glasses, and even his collection of keris (swords with a strong Javanese feel). There are also heirlooms such as the Gong Kiai Djimat (a traditional Javanese dagger) and the Keris Kiai Sekar Jagad (a type of dagger) that have been carefully preserved.
One of the most famous collections is a painting of Bung Karno by I.B. Said, a court painter. This large painting, framed in a gold-wood frame, is said to be unique: upon closer inspection, the image of Bung Karno appears to be beating to the rhythm of a heart. A powerful symbol, as if emphasizing that Bung Karno's spirit still lives on in the heartbeat of this nation.
Visiting the Bung Karno Museum is not just a tourist trip, but an intellectual and emotional pilgrimage. Behind every object, book, and painting, we are invited to contemplate the footsteps of a figure who laid the foundation for the founding of Indonesia. This museum is not just a collection, but a space for reflection to rekindle the flame of nationalism within us.
---
@ayikmultikarya
(Original)
Ketika kita menyebut nama Bung Karno, ingatan akan langsung melayang pada sosok Proklamator yang penuh kharisma, orator ulung, sekaligus bapak bangsa yang menanamkan semangat kebangsaan. Di Blitar, sebuah museum berdiri untuk mengenang sekaligus mendekatkan kembali kita pada perjalanan hidupnya. Museum Bung Karno bukan sekadar bangunan, melainkan ruang perjumpaan dengan sejarah, ideologi, dan nilai yang diwariskan Soekarno kepada bangsa Indonesia.
Pembangunan museum ini tidak lepas dari berbagai latar belakang: ideologi, historis, hingga empiris. Dirancang oleh arsitek Pribadi Widodo dan Baskoro Tedjo dari ITB, museum ini akhirnya diresmikan pada 3 Juli 2004 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Sejak saat itu, Museum Bung Karno menjadi salah satu destinasi bersejarah penting, tempat masyarakat bisa belajar langsung tentang perjuangan sang Proklamator.
Begitu memasuki area museum, pengunjung akan disambut oleh patung Bung Karno karya Gregorius Sidharta, seorang seniman asal Yogyakarta. Patung itu menampilkan Bung Karno dalam posisi duduk sambil membawa buku, seolah mengingatkan kita pada sosoknya yang selalu haus ilmu. Patung ini berdiri tepat di tengah lobi, memisahkan ruang menuju museum dan perpustakaan.
Di dalam perpustakaan, pengunjung bisa menemukan berbagai koleksi buku yang mengisahkan kehidupan dan perjuangan Bung Karno. Namun tak hanya itu, tersedia pula beragam buku lintas disiplin ilmu yang bisa menjadi referensi bagi siapa saja. Menariknya, ada pula layanan 'iSoekarno', sebuah aplikasi digital yang menyajikan ratusan foto, beberapa video, hingga buku digital tentang Bung Karno yang bisa diakses lewat gadget.
Perjalanan berlanjut ke ruang museum. Di sini, sejarah seolah berbicara lewat koleksi benda-benda pribadi Bung Karno: jas yang pernah ia kenakan saat menyiapkan kemerdekaan, koper yang menemaninya keluar-masuk penjara, peci, kacamata, hingga koleksi keris yang kental nuansa Jawa. Ada pula barang pusaka seperti Gong Kiai Djimat dan Keris Kiai Sekar Jagad yang disimpan dengan penuh kehati-hatian.
Salah satu koleksi yang paling terkenal adalah lukisan Bung Karno karya I.B. Said, seorang pelukis istana. Lukisan berukuran besar dengan bingkai kayu emas ini disebut-sebut memiliki keunikan: jika diperhatikan, gambar Bung Karno seolah berdetak mengikuti ritme jantung. Sebuah simbol yang kuat, seakan menegaskan bahwa semangat Bung Karno masih hidup bersama detak jantung bangsa ini.
Mengunjungi Museum Bung Karno bukan hanya perjalanan wisata, melainkan ziarah intelektual dan emosional. Di balik setiap benda, buku, dan lukisan, kita seakan diajak merenungi jejak seorang tokoh yang meletakkan dasar bagi berdirinya Indonesia. Museum ini bukan sekadar ruang koleksi, melainkan ruang refleksi untuk menyalakan kembali api nasionalisme dalam diri kita.
---
@ayikmultikarya